Total Tayangan Halaman

Kamis, 03 Maret 2011

Indeks harga konsumen

Indeks harga konsumen (consumer price index) adalah nomor indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga. IHK sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi suatu negara dan juga sebagai pertimbangan untuk penyesuaian gaji, upah, uang pensiun, dan kontrak lainnya. Untuk memperkirakan nilai IHK di masa depan, ekonom menggunakan indeks harga produsen, yaitu harga rata-rata bahan mentah yang dibutuhkan produsen untuk membuat produknya.

Indeks Harga Konsumen (IHK) memberikan informasi mengenai perkembangan rata-rata perubahan harga sekelompok tetap barang/ jasa yang pada umumnya dikonsumsi oleh rumah tangga dalam suatu kurun waktu tertentu. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menggambarkan tingkat kenaikan (inflasi) atau tingkat penurunan (deflasi) harga barang/jasa kebutuhan rumah tangga sehari-hari.

Metodologi perhitungan:

Statistik harga terutama statistik harga konsumen/eceran dikumpulkan untuk kemudian digunakan untuk menghitung indeks harga. Pengumpulan statistik harga dilakukan di 66 kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Indeks harga konsumen tersebut merupakan indikator umum tingkat inflasi dalam dunia ekonomi.

Data harga konsumen/eceran yang diperoleh dari 66 kota/kabupaten mencakup 284 - 441 jenis barang dan jasa. Beragam jenis barang dan jasa tersebut diklasifikasikan kedalam 7 (tujuh) kelompok utama, yaitu Bahan Makanan; Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau; Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar; Pakaian; Kesehatan; Pendidikan, Rekreasi dan Olah Raga; serta, Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan.Tiap kelompok terdiri atas beberapa sub kelompok, dan tiap sub kelompok terdiri atas beberapa item. Pada beberapa item juga terdapat beberapa kualitas/merk atau spesifikasi.

Dari tiap kota/kabupaten terpilih, diambil sampel satu atau beberapa pasar tradisional atau modern yang dianggap dapat mewakili harga barang dan jasa di kota/kabupaten tersebut. Data harga setiap komoditas diperoleh dari 3 atau 4 penjual/toko yang dikunjungi oleh petugas pengumpul data melalui wawancara langsung.

IHK di Indonesia dihitung dengan menggunakan metode Laspeyres termodifikasi. Untuk menghitung rata-rata harga dasar barang dan jasa digunakan rumus rata-rata hitung. Namun untuk beberapa barang/jasa musiman digunakan rumus rata-rata geometrik.

Terdapat perbedaan frekuensi pengumpulan data harga antara komoditas yang satu dengan yg lain.Hal tersebut bergantung pada karakteristik komoditas yang bersangkutan, yaitu:
1. Data harga beras dikumpulkan setiap hari.
2. Data harga beberapa komoditas yang merupakan kebutuhan dasar dikumpulkan mingguan, yaitu pada hari Senin dan Selasa.
3. Data harga beberapa komoditas makanan dikumpulkan dua mingguan, yaitu hari Rabu dan Kamis pada minggu pertama dan ketiga.
4. Data harga komoditas makanan lainnya, makanan olahan, minuman, serta, rokok dan tembakau dikumpulkan bulanan selama 3 hari berturut-turut dimulai dari hari Selasa (Selasa, Rabu, dan Kamis) yang terdekat dengan tanggal 15 tiap bulannya.
5. Untuk barang tahan lama, data harganya dikumpulkan bulanan dari hari ke-5 hingga hari ke-15
6. Data harga jasa dikumpulkan bulanan dari hari pertama hingga hari ke-10
7. Data harga sewa rumah dikumpulkan bulanan dari hari pertama hingga hari ke-10.
8. Upah pembantu dan Baby Sitter dicatat bulanan dari hari pertama hingga hari ke-10.

Data harga yang berkaitan dengan pengeluaran pendidikan dikumpulkan bulanan dari hari pertama hingga hari ke-10. ******

Sistim Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)

Salah satu instrumen untuk mengukur ketahanan pangan yang selama ini digunakan dalam memotret situasi pangan suatu wilayah adalah Food and Nutrition Surveillance System (FNSS) atau di Indonesia dikenal sebagai Sistim Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Konsep ini mulai diadopsi dan diterapkan di negara-negara berkembang pada tahun 1976. Sementara di Indonesia SKPG dilaksanakan sejak 1979 yg dimulai di Lombok Tengah, NTB dan Boyolali, Jawa Tengah, kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Dit. BGM-DepKes ke Propinsi- Propinsi lainnya (Depkes, 2004).

Sesuai dengan fungsi dan kegunaannya indikator SKPG dikategorikan
dalam 3 (tiga) kelompok utama yaitu:

(1). Indikator untuk pemetaan situasi pangan dan gizi 1 tahun di kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi maupun nasional dengan menggunakan 3 indikator
yang digabungkan secara komposit yaitu: a) indikator pertanian, dengan
memperhatikan bahwa potensi pertanian pangan antar wilayah sangat
beragam maka akan didekati dengan beberapa alternatif yang mungkin dan
cocok diterapkan pada suatu wilayah pengamatan, b) indikator kesehatan
yaitu Prevalensi Kekurangan Energi Protein (KEP) dan c) indikator sosial yaitu
persentase keluarga miskin.

(2). Indikator untuk peramalan produksi secara periodik (bulanan, triwulan,
musiman atau tahunan) khusus untuk kondisi produksi pertanian yaitu: luas
tanam, luas kerusakan, luas panen dan produktivitas

(3). Indikator untuk pengamatan gejala kerawanan pangan dan gizi yaitu:
kejadian-kejadian yang spesifik lokal (indikator lokal) yang dapat dipakai
untuk mengamati ada/tidaknya gejala rawan pangan dan gizi.

*****

Mengukur food insecurity

Menurut International Scientific Symposium on Measurement and Assessment of Food Deprivation and Under-Nutrition, FAO-Rome tanggal 26-28 Juni 2002; pengukuran food insecurity diarahkan untuk dapat digunakan dalam memonitor kemajuan pencapaian WFS Goal 2002 yaitu menurunkan jumlah kelaparan menjadi 400 juta jiwa (menjadi separo) dalam kurun waktu sampai 2015.

Ada lima metodologi yang dibahas dalam pertemuan tersebut yakni:

(1). FAO Method on Dietary Energy Supply (DES) dari analisa Food Balance Sheet didukung dengan analisa koofisien variasi (Cooficient Variation = CV) data konsumsi energi hasil survei konsumsi RT yang dikorelasikan dengan income atau pengeluaran RT. Rasio DES/CV FAO ini dianggap cukup memadai untuk memperkirakan kelaparan global dan dalam kurun waktu lama. Seperti
halnya metodologi lain yang menggunakan perkiraan konsumsi energi,
DES/CV mempunyai kelemahan dalam akurasi perkiraan rata-rata intake
energi dan sulit dikaitkan dengan kebutuhan. Jangka waktu estimasi jangka
panjang (lebih dari 1 tahun), sehingga tidak dapat menggambarkan keadaan
transient.

(2). Household Income and Expenditure Survey (HIES). Pengukuran konsumsi
dengan estimasi pengeluaran RT untuk makanan. Dianggap lebih akurat
daripada DES/CV. Kelemahannya, jangka pendek kurang dari satu tahun dan
tetap sulit untuk dikaitkan dengan kebutuhan gizi.

(3). Food Consumption Survey yang mengukur konsumsi makanan anggota
rumah tangga. Apabila dilakukan oleh tenaga professional, hasil perkiraan
konsumsi dianggap cukup akurat. Meskipun demikian upaya mengaitkan
dengan kebutuhan masih diperdebatkan. Survei ini mahal, karena itu hanya
sesuai untuk riset skala kecil.

(4). Qualitative Measures of Food Insecurity and Hunger. Suatu metodologi relatif baru dipraktekkan di USA tahun 1995, terutama untuk evaluasi program social safety net (JPS). Mengukur Food Insecurity di luar perhitungan
energi/kalori. Lebih menyerupai survei KAP (Knowledge, Attitiude and
Practice) mengenai lapar dan kelaparan menggunakan kuesioner food
security module yang berisi pertanyaan tentang: a) kekhawatiran tentang
persediaan pangan di rumah dengan uang yang tersisa, b) persepsi cukup
tidaknya makanan baik jumlah maupun mutu, c) berkurangnya makanan
orang dewasa dan d) berkurangnya makanan anak. Dengan menggunakan
cara scaling tertentu, jawaban pertanyaan diberi nilai dari nol sampai 10,
berdasar jawaban yang benar. Metode ini dianggap cukup memadai
mengukur kelaparan dari sikap dan perilaku.

(5). Antropometri. Mengukur status gizi anak yang erat korelasinya dengan food insecurity RT, factor kesehatan dan pola pengasuhan anak di rumah. Namun data antropometri tidak mengukur ketahanan pangan dan juga bukan
proksinya. Perubahan indicator antropometri anak factor penyebabnya tidak
spesifik dan asimetri. Bila pertumbuhan anak normal, maka status ketahanan
pangan RT juga normal, tetapi tidak sebaliknya. Pertumbuhan anak yang
tidak normal dapat disebabkan oleh banyak factor, bukan hanya karena
ketahanan pangan.

******

Peta ketahanan dan kerentanan pangan

Peta ketahanan dan kerentanan pangan (Food Security and Vulnerability Atlas/FSVA 2009). FSVA 2009 merupakan pemutakhiran dari Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas/FIA) yang diluncurkan tahun 2005.

Ada 13 indikator yang digunakan dalam penyusunan FSVA, yaitu:

1. ketersediaan pangan (konsumsi normative per kapita terhadap rasio ketersediaan bersih padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalan,
2. akses terhadap pangan (persentase penduduk di bawah garis kemiskinan,
3. persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai,
4. persentase penduduk tanpa akses listrik),
5. angka harapan hidup saat lahir,
6. berat badan balita di bawah standar,
7. perempuan buta huruf,
8. rumah tangga tanpa akses air bersih,
9. persentase penduduk yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan),
10. bencana alam,
11. penyimpangan curah hujan,
12. persentase daerah puso,
13. deforestasi hutan.

******