Indikator penilaian Inisiatif antikorupsi 2010 terdiri atas dua indikator, yaitu Indikator utama (bobot 0,865) dan indikator inovasi (bobot 0,135).
Indikator utama terdiri atas tujuh faktor dan belasan kriteria sbb.:
1. Faktor kode etik (kriteria: ketersediaan kode etik, ketersediaan mekanisme penerapan dan pelembagaan kode etik, dan penegakan kode etik termasuk reward dan punishment)
2. Faktor peningkatan transparansi dan manajemen SDM (kriteria: tersedianya proses perekrutan yang terbuka dan transparan, tersedianya sistem penilaian kerja yang terukur, dan tersedianya proses promosi dan penempatan dalam jabatan yang terbuka dan transparan)
3. Faktor peningkatan transparansi dalam pengadaan (kriteria: penerapan pengadaan secara elektronik, dan adanya mekanisme kontrol dari eksternal)
4. Faktor peningkatan transparansi dalam pengadan (kriteria: persentase kepatuhan LHKPN, dan mekanisme pelaporan gratifikasi)
5. Faktor peningkatan akses publik dalam memperoleh informasi instansi (kriteria: keterbukaan unit utama dalam menyebarkan informasi, dan tingkat keaktfian unit utama dalam menyebarkan informasi)
6. Faktor pelaksanaan rekomenadi perbaikan yang diberikan KPK (kriteria: action plan terhadap rekomendasi dari KPK/BPK/APIP, dan persentase dari pelaksanaan rekomendasi dari KPK/BPK/APIP)
7. Faktor kegiatan promosi anti korupsi (kriteria: kegiatan promosi internal, dan kegiatan promosi eksternal)
Sedangkan indikator inovasi hanya terdiri atas satu kriteria yaitu = kecukupan dan efektivitas dari inisiatif anti korupsi lainnya.
Berisi berbagai definisi dan batasan konsep-konsep yang sering dipakai dalam ilmu sosial, berserta variabel dan indikator yang sering digunakan dalam pengukurannya. Blog disusun oleh Syahyuti dari berbagai bahan, mudah-mudahan bermanfaat, terutama untuk mereka yang menjalankan penelitian.
Total Tayangan Halaman
Senin, 18 Oktober 2010
integritas
Integritas total (bobot 1,00) terdiri atas dua variabel, yaitu: (1) pengalaman integritas (bobot 0,75) dan potensi integritas (bobot 0,25).
Pengalaman integritas terdiri dari indikator dan sub indikator sbb.:
1. indikator pengalaman korupsi (sub indikator frekuensi pemberian gratifikasi, jumlah/besaran gratifikasi, dan waktu pemberian gratifikasi)
2. Indikator cara pandang terhadap korupsi (sub indikator arti pemberian gratifikasi, dan tujuan pemberian gratifikasi)
Selanjutnya variabel potensi integritas, terdiri atas indikator dan sub indikator sbb.:
1. Indikator lingkungan kerja (sub indikator kebiasaan pemberian gratifikasi, kebutuhan pertemuan di luar prosedur, keterlibatan calo, fasilitas di sekitar lingkungan pelayanan, dan suasana/kondisi di sekitar pelayanan)
2. Indikator sistem administrasi (sub indikator kepraktisan SOP, keterbukaan informasi, dan pemanfaatn teknologi informasi)
3. Indikator perilaku individu (sub indikator keadilan dalam layanan, ekspektasi petugas terhadap gratifikasi, dan perilaku pengguna pelayanan)
4. indikator pencegahan korupsi (sub indikator tingkat upaya anti korupsi, dan mekanisme pengaduan masyarakat)
Pengalaman integritas terdiri dari indikator dan sub indikator sbb.:
1. indikator pengalaman korupsi (sub indikator frekuensi pemberian gratifikasi, jumlah/besaran gratifikasi, dan waktu pemberian gratifikasi)
2. Indikator cara pandang terhadap korupsi (sub indikator arti pemberian gratifikasi, dan tujuan pemberian gratifikasi)
Selanjutnya variabel potensi integritas, terdiri atas indikator dan sub indikator sbb.:
1. Indikator lingkungan kerja (sub indikator kebiasaan pemberian gratifikasi, kebutuhan pertemuan di luar prosedur, keterlibatan calo, fasilitas di sekitar lingkungan pelayanan, dan suasana/kondisi di sekitar pelayanan)
2. Indikator sistem administrasi (sub indikator kepraktisan SOP, keterbukaan informasi, dan pemanfaatn teknologi informasi)
3. Indikator perilaku individu (sub indikator keadilan dalam layanan, ekspektasi petugas terhadap gratifikasi, dan perilaku pengguna pelayanan)
4. indikator pencegahan korupsi (sub indikator tingkat upaya anti korupsi, dan mekanisme pengaduan masyarakat)
kerawanan pangan
Kerawanan pangan diukur dari empat faktor utama, yaitu:
1. ketersediaan pangan,
2. akses terhadap pangan dan penghasilan,
3. pemanfaatan atau penyerapan pangan, serta
4. kerentanan pangan.
Penentuan rawan pangan didasarkan pada 15 indikator yang merupakan turunan dari keempat faktor utama tersebut.
Ketersediaan pangan = konsumsi per kapita normatif dibandingkan dengan ketersediaan bersih beras dan jagung.
Akses terhadap pangan dan penghasilan =
1. persentase orang miskin,
2. persentase orang yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu,
3. persentase orang yang tidak tamat sekolah dasar, serta
4. persentase rumah tangga dengan akses listrik.
Penyerapan pangan disusun atas =
1. harapan hidup anak berumur satu tahun,
2. balita bergizi kurang,
3. persentase perempuan buta huruf,
4. persentase anak yang tidak diimunisasi,
5. persentase orang dengan akses air bersih,
6. persentase orang yang bertempat tinggal lebih dari lima kilometer dari puskesmas, dan
7. rasio jumlah orang per dokter terhadap kepadatan jumlah penduduk.
Kerentanan pangan diukur dari =
1. persentase areal hutan per kabupaten,
2. areal lahan degradasi, dan
3. areal penanaman padi yang mengalami puso.
Tinggi rendahnya tingkat persentase dan skala penilaian keempat faktor itu di setiap daerah akan menentukan apakah daerah tersebut termasuk dalam kategori rawan pangan atau tahan pangan. Masing-masing kategori dibedakan lagi menjadi kerawanan/ ketahanan pangan sangat tinggi, tinggi, atau cukup.
1. ketersediaan pangan,
2. akses terhadap pangan dan penghasilan,
3. pemanfaatan atau penyerapan pangan, serta
4. kerentanan pangan.
Penentuan rawan pangan didasarkan pada 15 indikator yang merupakan turunan dari keempat faktor utama tersebut.
Ketersediaan pangan = konsumsi per kapita normatif dibandingkan dengan ketersediaan bersih beras dan jagung.
Akses terhadap pangan dan penghasilan =
1. persentase orang miskin,
2. persentase orang yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu,
3. persentase orang yang tidak tamat sekolah dasar, serta
4. persentase rumah tangga dengan akses listrik.
Penyerapan pangan disusun atas =
1. harapan hidup anak berumur satu tahun,
2. balita bergizi kurang,
3. persentase perempuan buta huruf,
4. persentase anak yang tidak diimunisasi,
5. persentase orang dengan akses air bersih,
6. persentase orang yang bertempat tinggal lebih dari lima kilometer dari puskesmas, dan
7. rasio jumlah orang per dokter terhadap kepadatan jumlah penduduk.
Kerentanan pangan diukur dari =
1. persentase areal hutan per kabupaten,
2. areal lahan degradasi, dan
3. areal penanaman padi yang mengalami puso.
Tinggi rendahnya tingkat persentase dan skala penilaian keempat faktor itu di setiap daerah akan menentukan apakah daerah tersebut termasuk dalam kategori rawan pangan atau tahan pangan. Masing-masing kategori dibedakan lagi menjadi kerawanan/ ketahanan pangan sangat tinggi, tinggi, atau cukup.
kualitas manusia
Konsep “kualitas manusia” memandang manusia secara lebih luas. Secara umum kualitas manusia terdiri atas dua hal, yaitu fisik dan non fisik . Secara fisik, menyangkut tentang kebugaran yang berkaitan dengan kesegaran jasmani, kesehatan, dan daya tahan fisik agar terus produktif. Salah satu cara pengukurnanya adalah melalui Physical quality of Life Index (PQLI), yang mengukur kesejahteraan fisik, yaitu usia harapan hidup waktu lahir, angka kesakitan, angka kematian, kemampuan paru-paru (vo max), serta tinggi dan berat badan.
Sementara, kualitas non fisik diukur atas dasar:
(1) kualitas kepribadian yang mencakup kecerdasan, kemandirian, kreatifitas, ketahanan mental, serta keseimbangan antara emosi dan rasio;
(2) kualitas bermasyarakat berupa kesetiakawanan, solidaritas, dan keterbukaan;
(3) kualitas berbangsa;
(4) kualitas spritual berupa religiusitas dan moralitas;
(5) wawasan lingkungan; dan
(6) kualitas kekaryaan yang berupa aspirasi dan potensi untuk melakukan kerja nyata guna menghasilkan sesuatu dengan mutu sebaik-baiknya.
Sementara, kualitas non fisik diukur atas dasar:
(1) kualitas kepribadian yang mencakup kecerdasan, kemandirian, kreatifitas, ketahanan mental, serta keseimbangan antara emosi dan rasio;
(2) kualitas bermasyarakat berupa kesetiakawanan, solidaritas, dan keterbukaan;
(3) kualitas berbangsa;
(4) kualitas spritual berupa religiusitas dan moralitas;
(5) wawasan lingkungan; dan
(6) kualitas kekaryaan yang berupa aspirasi dan potensi untuk melakukan kerja nyata guna menghasilkan sesuatu dengan mutu sebaik-baiknya.
social forestry
Istilah “Social Forestry” diindonesiakan menjadi “perhutanan sosial” atau “kehutanan sosial”. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Wastoby pada kongres kehutanan negara-negara persemakmuran di New Delhi (India) tahun 1968 . Ia mendifinisikannya sebagai =
ilmu kehutanan yang bertujuan untuk pemenuhan produksi dan manfaat rekreasi bagi masyarakat.
Definisi FAO = .... adalah suatu keadaan dimana masyarakat lokal dilibatkan secara intensif dalam kegiatan pengelolaan hutan.
Tiwari (1983) = perhutanan sosial adalah ilmu dan seni penanaman pohon dan atau tumbuhan lain pada lahan yang dimungkinkan untuk tujuan tertentu, di dalam maupun di luar kawasan hutan, dan mengelolanya secara intensif dengan melibatkan masyarakat. Pengelolaan ini terintegrasi dengan kegiatan lain, sehingga terjadi keseimbangan dan saling mengisi dalam pemanfaatan lahan, dengan maksud untuk menyediakan barang dan jasa secara luas baik kepada individu penggarap maupun masyarakat sekitar.
Prinsip-prinsip dalam implementasi social forestry =
1. perlu pengembangan kelembagaan;
2. pengakuan terhadap hak kelola masyarakat;
3. perlu kerja sama dan dukungan dari semua pihak;
4. ada pengakuan akan hak-hak masyarakat lokal, yaitu masyarakat adat dan institusinya;
5. keterpaduan pengelolaan ekosistem hutan dan pengelolaan sumber daya hutan;
6. kebijakan yang mendukung dan berpihak pada masyarakat kecil;
7. adanya pembagian manfaat (benefit) dan keuntungan (profit) yang jelas dan adil;
8. pengakuan bahwa perhutanan sosial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan untuk mengatur masyarakat;
9. keadilan dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya;
10. terjaminnya kesempatan pembagian hasil untuk memanfaatkan sumber daya kayu dan bukan kayu secara adil dan lestari;
11. ada pengakuan akan akses masyarakat lokal atas sumber daya hutan yang perlu difasilitasi dengan kebijakan yang memadai sehingga tidak merugikan salah satu pihak;
12. ada proses devolusi untuk penguatan kelembagaan dan masyarakatnya; serta
13. desentralisasi kepada pemerintah daerah sampai dengan tingkat desa dan lembaga adat.
ilmu kehutanan yang bertujuan untuk pemenuhan produksi dan manfaat rekreasi bagi masyarakat.
Definisi FAO = .... adalah suatu keadaan dimana masyarakat lokal dilibatkan secara intensif dalam kegiatan pengelolaan hutan.
Tiwari (1983) = perhutanan sosial adalah ilmu dan seni penanaman pohon dan atau tumbuhan lain pada lahan yang dimungkinkan untuk tujuan tertentu, di dalam maupun di luar kawasan hutan, dan mengelolanya secara intensif dengan melibatkan masyarakat. Pengelolaan ini terintegrasi dengan kegiatan lain, sehingga terjadi keseimbangan dan saling mengisi dalam pemanfaatan lahan, dengan maksud untuk menyediakan barang dan jasa secara luas baik kepada individu penggarap maupun masyarakat sekitar.
Prinsip-prinsip dalam implementasi social forestry =
1. perlu pengembangan kelembagaan;
2. pengakuan terhadap hak kelola masyarakat;
3. perlu kerja sama dan dukungan dari semua pihak;
4. ada pengakuan akan hak-hak masyarakat lokal, yaitu masyarakat adat dan institusinya;
5. keterpaduan pengelolaan ekosistem hutan dan pengelolaan sumber daya hutan;
6. kebijakan yang mendukung dan berpihak pada masyarakat kecil;
7. adanya pembagian manfaat (benefit) dan keuntungan (profit) yang jelas dan adil;
8. pengakuan bahwa perhutanan sosial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan untuk mengatur masyarakat;
9. keadilan dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya;
10. terjaminnya kesempatan pembagian hasil untuk memanfaatkan sumber daya kayu dan bukan kayu secara adil dan lestari;
11. ada pengakuan akan akses masyarakat lokal atas sumber daya hutan yang perlu difasilitasi dengan kebijakan yang memadai sehingga tidak merugikan salah satu pihak;
12. ada proses devolusi untuk penguatan kelembagaan dan masyarakatnya; serta
13. desentralisasi kepada pemerintah daerah sampai dengan tingkat desa dan lembaga adat.
kualitas masyarakat
Menurut M. Alwi Dahlan. 1993. Menjabarkan Kualitas dan Martabat Manusia dan Masyarakat. Hal. 3-22. Dalam: Sofian Effendi et al. (eds) 1993. Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan. Gajah Mada University Press Cet.2. 700 hal. (Hal 16); kualitas masyarakat dapat dilihat dari empat kelompok aspek berikut:
(1) Perihal kehidupan bermasyarakat yang diindikasikan dari keserasian sosial, kesetiakawanan sosial, disiplin sosial, dan kualitas komunikasi sosial.
(2) Kehidupan sosial politik melalui level demokrasi, keterbukaan akses untuk partisipasi politik, kepemimpinan yang terbuka, ketersediaan sarana dan prasarana komunikasi politik, serta keberadaan media massa.
(3) Kondisi kehidupan berkelompok masyarakat tersebut.
(4) Kualitas lembaga dan pranata kemasyarakatan dengan mempelajari kemutakhiran institusi dan kualitas, kemampuan institusi untuk menumbuhkan kemandirian masyarakat dan menjalankan fungsi yang baik, kualitas pemahaman terhadap hak dan kewajiban tiap orang, struktur institusi yang terbuka, dan mekanisme sumber-sumber yang potensial dalam membangkitkan daya kemasyarakatan secara berkelanjutan.
(1) Perihal kehidupan bermasyarakat yang diindikasikan dari keserasian sosial, kesetiakawanan sosial, disiplin sosial, dan kualitas komunikasi sosial.
(2) Kehidupan sosial politik melalui level demokrasi, keterbukaan akses untuk partisipasi politik, kepemimpinan yang terbuka, ketersediaan sarana dan prasarana komunikasi politik, serta keberadaan media massa.
(3) Kondisi kehidupan berkelompok masyarakat tersebut.
(4) Kualitas lembaga dan pranata kemasyarakatan dengan mempelajari kemutakhiran institusi dan kualitas, kemampuan institusi untuk menumbuhkan kemandirian masyarakat dan menjalankan fungsi yang baik, kualitas pemahaman terhadap hak dan kewajiban tiap orang, struktur institusi yang terbuka, dan mekanisme sumber-sumber yang potensial dalam membangkitkan daya kemasyarakatan secara berkelanjutan.
Millenium Development Goals (MDG)
Millenium Development Goals memiliki delapan program, yaitu:
(1) penghapusan kemiskinan yang ekstrim dan kelaparan, serta mengurangi setengah jumlah penduduk miskin yang hidup kurang dari satu dollar AS per hari;
(2) akses terhadap pendidikan dasar;
(3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
(4) mengurangi tingkat kematian balita;
(5) peningkatan kesehatan ibu;
(6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lain;
(7) menjamin keberlanjutan lingkungan dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan dan program-program tiap negara untuk menghambat kerusakan sumberdaya alam ; dan
(8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan dengan terus mengembangkan pasar terbuka dan sistem finansial, termasuk komitmen untuk good governance, pembangunan dan pengurangan kemiskinan.
(1) penghapusan kemiskinan yang ekstrim dan kelaparan, serta mengurangi setengah jumlah penduduk miskin yang hidup kurang dari satu dollar AS per hari;
(2) akses terhadap pendidikan dasar;
(3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
(4) mengurangi tingkat kematian balita;
(5) peningkatan kesehatan ibu;
(6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lain;
(7) menjamin keberlanjutan lingkungan dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan dan program-program tiap negara untuk menghambat kerusakan sumberdaya alam ; dan
(8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan dengan terus mengembangkan pasar terbuka dan sistem finansial, termasuk komitmen untuk good governance, pembangunan dan pengurangan kemiskinan.
Pembangunan Berkelanjutan
“sustain” = “the act of one generation saving options by passing them on to the next generation”. Kata “sustain” bermakna menopang, menyokong, menahan, dan meneruskan.
“sustainability” = “…to leave future generations as many opportunities as we ourselves have had, if not more”.
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) = “upaya untuk menciptakan suatu kondisi, berbagai kemungkinan, dan peluang bagi tiap anggota atau kelompok masyarakat dari tiap lapisan sosial, ekonomi dan budaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap alam”.
Dalam konferensi Rio tahun 1994, “sustainable development" = is development that meets the needs of the present without compromissing the ability of future generations to meet their own needs”.
Tiga aspek penting dalam PB =
1. pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,
2. pembangunan sosial yang berkelanjutan, dan
3. pengelolaan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Tiga sasaran utama PB =
(1) pembangunan sosial, berupa pemberantasan kemiskinan struktural,
(2) pembangunan ekonomi, berupa pola produksi dan konsumsi yang harus diubah ke arah yang menopang keberlanjutan, dan
(3) penyelamatan dan perlindungan ekosistem agar mampu menopang PB.
Lima elemen prinsip yang harus dipertimbangkan untuk tercapainya keberlanjutan yang disingkat menjadi “lima E”, yaitu :
(1) Economy. Aktifitas ekonomi yang selaras dengan kemampuan alam. Pembangunan ekonomi harus mampu memproteksi dan meningkatkan kondisi sumberdaya alam melalui perbaikan manajemen, teknologi, efisiensi, dan perubahan gaya hidup.
(2) Ecology. Strategi pembangunan ekonomi harus memahami kapasitas ekosistem yang ada.
(3) Equity. Harus terjamin akses yang seimbang antara untuk pekerjaan, pendidikan, sumberdaya alam, dan pelayanan untuk semua orang.
(4) Education. Seluruh warga dan kelembagaan-kelembagaan memperoleh informasi yang cukup dan komprehensif khususnya untuk perilaku-perilaku yang memperngaruhi keberlanjutan. Juga harus dikembangkan kurikulum yang interdisiplin untuk membuka kesempatan pelajar memahami tentang PB.
(5) Evaluation. Identifikasi kunci-kunci keberlanjutan yang mengukur arah dan besar dampak dari aktifitas sosial dan ekonomi terhadap sumberdaya alam dan human system. Ini akan menyediakan feedback sehingga memungkinkan untuk melakukan koreksi terhadap apa yang sedang berjalan menuju keberlanjutan.
Dalam “The Bellagio Principles”, prinsip-prinsip untuk menilai keberhasilan PB, yaitu :
(1) Guiding vision and goals. Untuk tahu bahwa ada kemajuan dalam pembangunan berkelanjutan, maka perlu visi yang jelas tentang apa itu pembangunan berkelanjutan dan tujun yang akan dicapai dari visi tersebut.
(2) Holistic perspective. Perlu pemahaman terhadap sistem secara keseluruhan, dan juga bagian demi bagian dari sistem tersebut. Perlu pertimbangan baik dari sisi kesejahteraan sosial, ekologi, dan ekonomi. Dan juga paham konsekwensi positif dan negatif dari sistem ekologi dan manusia, baik dalam konsep finansial maupun bukan.
(3) Essential elements. Pertimbangkan aspek kecukupan, namun juga disparitas secara tepat antara kebutuhan sekarang dengan generasi mendatang, berkaitan dengan penggunaan sumberdaya, konsumsi berlebih dan kemiskinan, human rights, dan akses terhadap pelayanan. Pertimbangkan pula pembangunan ekonomi dengan aktifitas non pasar yang berkontribusi terhadap peradaban manusia.
(4) Adequate scope. Pahami pula dimensi waktu dan keruangan.
(5) Practical focus. Batasi isu-isu untuk dianalisis, jumlah indikator, lakukan standarisasi, dan perbandingan indikator.
(6) Openness. Susun metode dan data yang dapat digunakan dan diakses oleh semua pihak, buat pertimbangan ilmiah dan sumsi yang eksplisit, serta interpretasinya.
(7) Effective communication. Buat desain yang sesuai dengan kebutuhan pengguna, gambarkan melalui indikator dan berbagai alat yang memudahkan untuk pembuat keputusan, dan gunakan bahasa yang sederhana, terstruktur, dan jelas.
(8) Broad participation. Raih keterwakilan yang luas sehingga dapat mewakili kalangan grass-roots, kaum profesional, kelompok teknik dan sosial, termasuk golongan pemuda, perempuan, dan indigenous people.
(9) Ongoing assessment. Kembangkan kemampuan untuk melakukan pengulangan pengukuran untuk mempelajari kemajuan, adapatif dan responsif terhadap perubahan dan hal-hal yang tak terduga, karena sistem bersifat kompleks dan seringkali berubah. Lakukan adaptasi terhadap tujuan, kerangka kerja, dan indikator berdasakan temuan-temuan baru di lapangan.
(10) Institutional capacity. Agar penilaian kontinyu, maka tegaskan tentang dukungan dan tangung jawab berbagai pihak untuk tugas ini, sediakan lembaga khusus untuk melakukan pengumpulan data, memelihara data, dan mendokumentasikannya. Akan lebih baik jika dukung kemampuan kelembagaan lokal untuk melakukannya sendiri.
*****
“sustainability” = “…to leave future generations as many opportunities as we ourselves have had, if not more”.
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) = “upaya untuk menciptakan suatu kondisi, berbagai kemungkinan, dan peluang bagi tiap anggota atau kelompok masyarakat dari tiap lapisan sosial, ekonomi dan budaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap alam”.
Dalam konferensi Rio tahun 1994, “sustainable development" = is development that meets the needs of the present without compromissing the ability of future generations to meet their own needs”.
Tiga aspek penting dalam PB =
1. pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,
2. pembangunan sosial yang berkelanjutan, dan
3. pengelolaan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Tiga sasaran utama PB =
(1) pembangunan sosial, berupa pemberantasan kemiskinan struktural,
(2) pembangunan ekonomi, berupa pola produksi dan konsumsi yang harus diubah ke arah yang menopang keberlanjutan, dan
(3) penyelamatan dan perlindungan ekosistem agar mampu menopang PB.
Lima elemen prinsip yang harus dipertimbangkan untuk tercapainya keberlanjutan yang disingkat menjadi “lima E”, yaitu :
(1) Economy. Aktifitas ekonomi yang selaras dengan kemampuan alam. Pembangunan ekonomi harus mampu memproteksi dan meningkatkan kondisi sumberdaya alam melalui perbaikan manajemen, teknologi, efisiensi, dan perubahan gaya hidup.
(2) Ecology. Strategi pembangunan ekonomi harus memahami kapasitas ekosistem yang ada.
(3) Equity. Harus terjamin akses yang seimbang antara untuk pekerjaan, pendidikan, sumberdaya alam, dan pelayanan untuk semua orang.
(4) Education. Seluruh warga dan kelembagaan-kelembagaan memperoleh informasi yang cukup dan komprehensif khususnya untuk perilaku-perilaku yang memperngaruhi keberlanjutan. Juga harus dikembangkan kurikulum yang interdisiplin untuk membuka kesempatan pelajar memahami tentang PB.
(5) Evaluation. Identifikasi kunci-kunci keberlanjutan yang mengukur arah dan besar dampak dari aktifitas sosial dan ekonomi terhadap sumberdaya alam dan human system. Ini akan menyediakan feedback sehingga memungkinkan untuk melakukan koreksi terhadap apa yang sedang berjalan menuju keberlanjutan.
Dalam “The Bellagio Principles”, prinsip-prinsip untuk menilai keberhasilan PB, yaitu :
(1) Guiding vision and goals. Untuk tahu bahwa ada kemajuan dalam pembangunan berkelanjutan, maka perlu visi yang jelas tentang apa itu pembangunan berkelanjutan dan tujun yang akan dicapai dari visi tersebut.
(2) Holistic perspective. Perlu pemahaman terhadap sistem secara keseluruhan, dan juga bagian demi bagian dari sistem tersebut. Perlu pertimbangan baik dari sisi kesejahteraan sosial, ekologi, dan ekonomi. Dan juga paham konsekwensi positif dan negatif dari sistem ekologi dan manusia, baik dalam konsep finansial maupun bukan.
(3) Essential elements. Pertimbangkan aspek kecukupan, namun juga disparitas secara tepat antara kebutuhan sekarang dengan generasi mendatang, berkaitan dengan penggunaan sumberdaya, konsumsi berlebih dan kemiskinan, human rights, dan akses terhadap pelayanan. Pertimbangkan pula pembangunan ekonomi dengan aktifitas non pasar yang berkontribusi terhadap peradaban manusia.
(4) Adequate scope. Pahami pula dimensi waktu dan keruangan.
(5) Practical focus. Batasi isu-isu untuk dianalisis, jumlah indikator, lakukan standarisasi, dan perbandingan indikator.
(6) Openness. Susun metode dan data yang dapat digunakan dan diakses oleh semua pihak, buat pertimbangan ilmiah dan sumsi yang eksplisit, serta interpretasinya.
(7) Effective communication. Buat desain yang sesuai dengan kebutuhan pengguna, gambarkan melalui indikator dan berbagai alat yang memudahkan untuk pembuat keputusan, dan gunakan bahasa yang sederhana, terstruktur, dan jelas.
(8) Broad participation. Raih keterwakilan yang luas sehingga dapat mewakili kalangan grass-roots, kaum profesional, kelompok teknik dan sosial, termasuk golongan pemuda, perempuan, dan indigenous people.
(9) Ongoing assessment. Kembangkan kemampuan untuk melakukan pengulangan pengukuran untuk mempelajari kemajuan, adapatif dan responsif terhadap perubahan dan hal-hal yang tak terduga, karena sistem bersifat kompleks dan seringkali berubah. Lakukan adaptasi terhadap tujuan, kerangka kerja, dan indikator berdasakan temuan-temuan baru di lapangan.
(10) Institutional capacity. Agar penilaian kontinyu, maka tegaskan tentang dukungan dan tangung jawab berbagai pihak untuk tugas ini, sediakan lembaga khusus untuk melakukan pengumpulan data, memelihara data, dan mendokumentasikannya. Akan lebih baik jika dukung kemampuan kelembagaan lokal untuk melakukannya sendiri.
*****
Delapan jalur pemerataan
Delapan Jalur Pemerataan, yang merupakan penjabaran dari Trilogi Pembangunan. Ini lahir di era Orde Baru dulu. Delapan jalur dimaksud adalah pemerataan dalam hal:
(1) pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, berupa pangan, sandang dan perumahan;
(2) kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
(3) pembagian pendapatan;
(4) kesempatan kerja;
(5) kesempatan berusaha;
(6) kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita;
(7) penyebaran pembangunan; dan
(8) kesempatan memperoleh keadilan.
(1) pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, berupa pangan, sandang dan perumahan;
(2) kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
(3) pembagian pendapatan;
(4) kesempatan kerja;
(5) kesempatan berusaha;
(6) kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita;
(7) penyebaran pembangunan; dan
(8) kesempatan memperoleh keadilan.
pembangunan
Menurut Compilation of Indicators of Development (Dalam: Hoogvelt, Ankie M. 1985. Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. Penyadur: Drs. Alimandan. Rajawali Pers, Jakarta. 285 halaman. Judul asli: “The Sociology of Developing Societies”. Hal 99);
indikator pembangunan adalah =
1. tingkat urbanisasi,
2. tingkat melek huruf,
3. sirkulasi surat kabar dalam masyarakat,
4. demokrasi politik dari sistem multi partai dan penggantian pemerintahan secara teratur dengan pemilu,
5. kebebasan berusaha,
6. sekularisasi (“rasionalitas” sebagai norma perilaku yang dominan),
7. tingkat mobilitas sosial,
8. diferensiasi mata pencaharian,
9. perkembangan organisasi-organisasi sukarela, serta
10. tersedianya badan peradilan yang independen.
indikator pembangunan adalah =
1. tingkat urbanisasi,
2. tingkat melek huruf,
3. sirkulasi surat kabar dalam masyarakat,
4. demokrasi politik dari sistem multi partai dan penggantian pemerintahan secara teratur dengan pemilu,
5. kebebasan berusaha,
6. sekularisasi (“rasionalitas” sebagai norma perilaku yang dominan),
7. tingkat mobilitas sosial,
8. diferensiasi mata pencaharian,
9. perkembangan organisasi-organisasi sukarela, serta
10. tersedianya badan peradilan yang independen.
kemiskinan
menurut Bank Dunia, "extreme poverty" adalah kondisi jika seseorang hidup dengan biaya kurang dari 1 dollar AS per hari, sedangkan "poverty" jika kurang dari 2 dollar AS per hari . Pada level individual.
Biro Pusat Statistik, batas garis kemiskinan = untuk tahun 2001, garis batas untuk kota adalah dengan pendapatan per kapita Rp. 100.011 per bulan dan desa Rp. 80.382 per bulan.
Sajogyo membagi menjadi 3 kelompok berdasarkan pengeluaran per kapita per tahun setara dengan nilai tukar beras. Berturut-turut untuk wilayah desa dan kota adalah: (1) miskin = 320 kg dan 480 kg, (2) sangat miskin = 240 kg dan 360 kg, serta (3) melarat = Rp. 180 kg dan 270 kg.
Pada Program Keluarga Sejahtera sesuai Inpres No.3 tahun 1996, miskin disebut dengan istilah “kurang sejahtera”, yaitu keluarga yang tergolong Pra Sejahtera dan Sejahtera I. Atas dasar batasan ini, BKKBN mengkategorikan semua rumahtangga di Indonesia dalam lima kategori kesejahteraan, yakni:
1. Keluarga Pra Sejahtera,
2. Keluarga Sejahtera I,
3. Keluarga Sejahtera II,
4. Kelauarga Sejahtera III, dan
5. Keluarga Sejahtera III plus.
Rumah tangga miskin menurut BKKBN berdasarkan indikator:
1. tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya,
2. tidak mampu makan dua kali sehari,
3. tidak memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja, dan bepergian,
4. bagian terluas rumahnya berlantai tanah, dan
5. tak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan jika sakit.
Menurut golden standard, tiap orang butuh 2.300 kcal/hari. Jika konsumsi kalori seseorang kecil dari 70 persen, maka ia tergolong miskin. Namun, menurut FAO dan WHO, kebutuhan manusia agar dapat hidup normal cukup 1.600 kcal/hari ditambah 40 gram protein. Beda lagi dengan keduanya, menurut BPS cukup hanya 2.100 kcal/ hari.
Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) menyatakan bahwa ada empat dimensi pokok kondisi kemiskinan di Indonesia, yaitu:
1. kurangnya kesempatan,
2. rendahnya kemampuan,
3. kurangnya jaminan, serta
4. ketidaberdayaan.
“Keluarga miskin” menurut KPK = apabila tidak mampu memenuhi satu atau lebih indikator: paling kurang sekali seminggu makan daging, ikan, dan telur; sekali setahun seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu setel pakaian baru; dan lantai rumah paling kurang 8 m2 per penghuni. Dan disebut “keluarga miskin sekali” jika tidak mampu memenuhi satu atau lebih indikator: pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih; memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah, dan bepergian; serta bagian lantai terluas bukan dari tanah.
Biro Pusat Statistik, batas garis kemiskinan = untuk tahun 2001, garis batas untuk kota adalah dengan pendapatan per kapita Rp. 100.011 per bulan dan desa Rp. 80.382 per bulan.
Sajogyo membagi menjadi 3 kelompok berdasarkan pengeluaran per kapita per tahun setara dengan nilai tukar beras. Berturut-turut untuk wilayah desa dan kota adalah: (1) miskin = 320 kg dan 480 kg, (2) sangat miskin = 240 kg dan 360 kg, serta (3) melarat = Rp. 180 kg dan 270 kg.
Pada Program Keluarga Sejahtera sesuai Inpres No.3 tahun 1996, miskin disebut dengan istilah “kurang sejahtera”, yaitu keluarga yang tergolong Pra Sejahtera dan Sejahtera I. Atas dasar batasan ini, BKKBN mengkategorikan semua rumahtangga di Indonesia dalam lima kategori kesejahteraan, yakni:
1. Keluarga Pra Sejahtera,
2. Keluarga Sejahtera I,
3. Keluarga Sejahtera II,
4. Kelauarga Sejahtera III, dan
5. Keluarga Sejahtera III plus.
Rumah tangga miskin menurut BKKBN berdasarkan indikator:
1. tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya,
2. tidak mampu makan dua kali sehari,
3. tidak memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja, dan bepergian,
4. bagian terluas rumahnya berlantai tanah, dan
5. tak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan jika sakit.
Menurut golden standard, tiap orang butuh 2.300 kcal/hari. Jika konsumsi kalori seseorang kecil dari 70 persen, maka ia tergolong miskin. Namun, menurut FAO dan WHO, kebutuhan manusia agar dapat hidup normal cukup 1.600 kcal/hari ditambah 40 gram protein. Beda lagi dengan keduanya, menurut BPS cukup hanya 2.100 kcal/ hari.
Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) menyatakan bahwa ada empat dimensi pokok kondisi kemiskinan di Indonesia, yaitu:
1. kurangnya kesempatan,
2. rendahnya kemampuan,
3. kurangnya jaminan, serta
4. ketidaberdayaan.
“Keluarga miskin” menurut KPK = apabila tidak mampu memenuhi satu atau lebih indikator: paling kurang sekali seminggu makan daging, ikan, dan telur; sekali setahun seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu setel pakaian baru; dan lantai rumah paling kurang 8 m2 per penghuni. Dan disebut “keluarga miskin sekali” jika tidak mampu memenuhi satu atau lebih indikator: pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih; memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah, dan bepergian; serta bagian lantai terluas bukan dari tanah.
kohesi sosial
Menurut Mitchell ada 3 karakteristik kohesi sosial, yaitu:
1. komitmen individu untuk norma dan nilai umum,
2. kesalingtergantungan yang muncul karena adanya niat untuk berbagi (shared interest), dan
3. individu yang mengidentifikasi dirinya dengan grup tertentu.
1. komitmen individu untuk norma dan nilai umum,
2. kesalingtergantungan yang muncul karena adanya niat untuk berbagi (shared interest), dan
3. individu yang mengidentifikasi dirinya dengan grup tertentu.
community development
Definisi Community Development menurut PBB = “… a process whereby the efforts of Government are united with those of the people to improve the social, cultural, and economic conditions in communities”.
Definisi community development tahun 1948 di Inggris = “… suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komounitas melalui partisipasi aktif, dan jika memungkinkan, berdasarkan inisiatif masyarakat.
Definisi community development tahun 1948 di Inggris = “… suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komounitas melalui partisipasi aktif, dan jika memungkinkan, berdasarkan inisiatif masyarakat.
capacity building
Capacity building =
adalah upaya penguatan sebuah komunitas dengan bertolak dari kekayaan tata nilai dan juga prioritas kebutuhan mereka, dan mengorganisasikan mereka untuk melakukannya sendiri.
“Strengthening people’s capacity to determine their own values and priorities, and to organise themselves to act on these, is the basic of development”.
“... to enhance the capability of people and institutions sutainably to improve their competence and problem-solving capacities”.
adalah upaya penguatan sebuah komunitas dengan bertolak dari kekayaan tata nilai dan juga prioritas kebutuhan mereka, dan mengorganisasikan mereka untuk melakukannya sendiri.
“Strengthening people’s capacity to determine their own values and priorities, and to organise themselves to act on these, is the basic of development”.
“... to enhance the capability of people and institutions sutainably to improve their competence and problem-solving capacities”.
social performance of micro-finance institutions
Untuk mengukur social performance of micro-finance institutions digunakan Social Performance Indicators Initiative (SPI).
Ada empat dimensi yang digunakan, yaitu:
1. Outreach to the Poor and Excluded: Mission and Targeting Strategies.
2. Adaptation of the services and products to the target clients.
3. Improving social and political capital of clients and communities.
4. Social responsibility of MFI.
Ada empat dimensi yang digunakan, yaitu:
1. Outreach to the Poor and Excluded: Mission and Targeting Strategies.
2. Adaptation of the services and products to the target clients.
3. Improving social and political capital of clients and communities.
4. Social responsibility of MFI.
Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM)
Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM)=
adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.
adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.
garis kemiskinan makanan
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) =
merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita perhari.
merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita perhari.
rumah tangga miskin
Indikator rumah tangga miskin:
1. luas lantai kurang dari 8 meter per anggota rumah tangga
2. jenis lantai dari tanah
3. dinding rumah kayu atau bambu
4. tidak memiliki fasilitas MCK
5. sumber air minum bukan PDAM
6. penerangan bukan listrik
7. hanya mampu membeli daging maksimal 1 kali sepekan
8. frekuensi makan maksimal dua kali sehari
9. dalam setahun hanya mampu membeli 1 stel pakaian
10. tidak mampu berobat ke Puskesmas jika sakit
11. lapangan pekerjaan buruh tani, buruh bangunan dan lainnya
12. pendapatan total rumah tangga di bawah Rp 600 ribu per bulan
13. pendidikan tertinggi tidak tamat sekolah dan tidak tamat SD
14. tidak memiliki tabungan
15. barang yang mudah dijual nilainya tidak sampai Rp 500 Ribu, dan
16. tidak memiliki kompor untuk memasak.
1. luas lantai kurang dari 8 meter per anggota rumah tangga
2. jenis lantai dari tanah
3. dinding rumah kayu atau bambu
4. tidak memiliki fasilitas MCK
5. sumber air minum bukan PDAM
6. penerangan bukan listrik
7. hanya mampu membeli daging maksimal 1 kali sepekan
8. frekuensi makan maksimal dua kali sehari
9. dalam setahun hanya mampu membeli 1 stel pakaian
10. tidak mampu berobat ke Puskesmas jika sakit
11. lapangan pekerjaan buruh tani, buruh bangunan dan lainnya
12. pendapatan total rumah tangga di bawah Rp 600 ribu per bulan
13. pendidikan tertinggi tidak tamat sekolah dan tidak tamat SD
14. tidak memiliki tabungan
15. barang yang mudah dijual nilainya tidak sampai Rp 500 Ribu, dan
16. tidak memiliki kompor untuk memasak.
kedaulatan pangan
Definisi:
“Food Sovereignty is the right of Peoples to define their own policies and strategies for the sustainable production, distribution, and consumption of food, with respect for their own cultures and their own systems of managing natural resources and rural areas, and is considered to be a precondition for Food Security”
Kriteria indikator kultural (Cultural Indicators) untuk kedaulatan pangan:
1. They have a food sovereignty focus, in particular relating to the relationship between food sovereignty and traditional culture
2. They are practical, useful and measurable
3. They should be broad enough to be applied in a range of regions and situations (where they could be made more specific and detailed if need be)
4. They can be used to measure trends and changes (increases and decreases over time)
5. They use the model proposed that includes under each theme structural, process and results indicators.
6. They reflect Indigenous Peoples’ input and direct involvement in development, planning, data collection, analysis and follow-up activities.
7. They take into account the role and contributions of Indigenous men and women, youth and elders
8. They include the collection of anecdotal data, oral histories, interviews and other information provided by traditional practitioners, producers, elders and other community members, as well as from other sources (studies, testing, statistics, etc)
“Food Sovereignty is the right of Peoples to define their own policies and strategies for the sustainable production, distribution, and consumption of food, with respect for their own cultures and their own systems of managing natural resources and rural areas, and is considered to be a precondition for Food Security”
Kriteria indikator kultural (Cultural Indicators) untuk kedaulatan pangan:
1. They have a food sovereignty focus, in particular relating to the relationship between food sovereignty and traditional culture
2. They are practical, useful and measurable
3. They should be broad enough to be applied in a range of regions and situations (where they could be made more specific and detailed if need be)
4. They can be used to measure trends and changes (increases and decreases over time)
5. They use the model proposed that includes under each theme structural, process and results indicators.
6. They reflect Indigenous Peoples’ input and direct involvement in development, planning, data collection, analysis and follow-up activities.
7. They take into account the role and contributions of Indigenous men and women, youth and elders
8. They include the collection of anecdotal data, oral histories, interviews and other information provided by traditional practitioners, producers, elders and other community members, as well as from other sources (studies, testing, statistics, etc)
ketahanan pangan
Menurut Tim penelitian Puslit Kependudukan-LIPI, sesuai definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, ada empat komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:
1. kecukupan ketersediaan pangan;
2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun.
3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan, serta
4. kualitas/keamanan pangan
Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara menggambungkan keempat komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan satu indeks ketahanan pangan.
1. kecukupan ketersediaan pangan;
2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun.
3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan, serta
4. kualitas/keamanan pangan
Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara menggambungkan keempat komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan satu indeks ketahanan pangan.
gaya kepemimpinan
Gaya kepemimpinan dapat dipelajari dari empat indikator berikut:
(1) penerapan kewenangan
(2) derajat kewibawaan
(3) norma budaya yang dianut, dan
(4) kualitas kepribadian
(1) penerapan kewenangan
(2) derajat kewibawaan
(3) norma budaya yang dianut, dan
(4) kualitas kepribadian
Minggu, 17 Oktober 2010
motivasi kerja
Motivasi kerja dapat diukur empat indikator berikut:
1. dorongan mencapai tujuan
2. semangat kerja
3. inisiatif dan kreativitas, serta
4. rasa tanggung jawab
1. dorongan mencapai tujuan
2. semangat kerja
3. inisiatif dan kreativitas, serta
4. rasa tanggung jawab
budaya organisasi perusahaan
Budaya organisasi perusahaan dapat dipelajari dari enam variabel berikut:
1. struktur organisasi
2. tujuan organisasi
3. nilai-nilai/norma organisasi
4. pekerjaan/tugas-tugas organisasi
5. iklim organisasi
6. tingkah laku/sikap karyawan.
1. struktur organisasi
2. tujuan organisasi
3. nilai-nilai/norma organisasi
4. pekerjaan/tugas-tugas organisasi
5. iklim organisasi
6. tingkah laku/sikap karyawan.
sosial capital
Social capital dapat dilihat dari 5 dimensi berikut, yaitu:
1. pandangan tentang area lokal (misalnya kepuasan hidup di wilayah bersangkutan, masalah yang timbul disana, dll)
2. partisipasi sipil (hak untuk memilih, peluang untuk terlibat dalam isu-isu lokal dan nasional)
3. jaringan sosial dan dukungan yang ada ( bagaimana kontak dengan teman-teman dan relasi lain)
4. partisipasi sosial (peluang keterliibatan dalam kelompok dan aktivitas-aktivitas volunter)
5. resiprositas dan kepercayaan (kepercayaan antar orang)
1. pandangan tentang area lokal (misalnya kepuasan hidup di wilayah bersangkutan, masalah yang timbul disana, dll)
2. partisipasi sipil (hak untuk memilih, peluang untuk terlibat dalam isu-isu lokal dan nasional)
3. jaringan sosial dan dukungan yang ada ( bagaimana kontak dengan teman-teman dan relasi lain)
4. partisipasi sosial (peluang keterliibatan dalam kelompok dan aktivitas-aktivitas volunter)
5. resiprositas dan kepercayaan (kepercayaan antar orang)
Langganan:
Postingan (Atom)