Total Tayangan Halaman

Senin, 18 Oktober 2010

social forestry

Istilah “Social Forestry” diindonesiakan menjadi “perhutanan sosial” atau “kehutanan sosial”. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Wastoby pada kongres kehutanan negara-negara persemakmuran di New Delhi (India) tahun 1968 . Ia mendifinisikannya sebagai =

ilmu kehutanan yang bertujuan untuk pemenuhan produksi dan manfaat rekreasi bagi masyarakat.

Definisi FAO = .... adalah suatu keadaan dimana masyarakat lokal dilibatkan secara intensif dalam kegiatan pengelolaan hutan.

Tiwari (1983) = perhutanan sosial adalah ilmu dan seni penanaman pohon dan atau tumbuhan lain pada lahan yang dimungkinkan untuk tujuan tertentu, di dalam maupun di luar kawasan hutan, dan mengelolanya secara intensif dengan melibatkan masyarakat. Pengelolaan ini terintegrasi dengan kegiatan lain, sehingga terjadi keseimbangan dan saling mengisi dalam pemanfaatan lahan, dengan maksud untuk menyediakan barang dan jasa secara luas baik kepada individu penggarap maupun masyarakat sekitar.

Prinsip-prinsip dalam implementasi social forestry =

1. perlu pengembangan kelembagaan;
2. pengakuan terhadap hak kelola masyarakat;
3. perlu kerja sama dan dukungan dari semua pihak;
4. ada pengakuan akan hak-hak masyarakat lokal, yaitu masyarakat adat dan institusinya;
5. keterpaduan pengelolaan ekosistem hutan dan pengelolaan sumber daya hutan;
6. kebijakan yang mendukung dan berpihak pada masyarakat kecil;
7. adanya pembagian manfaat (benefit) dan keuntungan (profit) yang jelas dan adil;
8. pengakuan bahwa perhutanan sosial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan untuk mengatur masyarakat;
9. keadilan dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya;
10. terjaminnya kesempatan pembagian hasil untuk memanfaatkan sumber daya kayu dan bukan kayu secara adil dan lestari;
11. ada pengakuan akan akses masyarakat lokal atas sumber daya hutan yang perlu difasilitasi dengan kebijakan yang memadai sehingga tidak merugikan salah satu pihak;
12. ada proses devolusi untuk penguatan kelembagaan dan masyarakatnya; serta
13. desentralisasi kepada pemerintah daerah sampai dengan tingkat desa dan lembaga adat.